Sabtu, 05 November 2011

DIA DAN PANTAI ITU


   A
ku heran melihat orang-orang yang selalu senang, bahkan terlalu senang malah ketika akan menyambut suatu ritual yang ada sejak dahulu kala, entah kapan hal ini muncul dalam kehidupan, dialah Libur Panjang.
 Ujian yang menyesakkan dada baru saja terlewati. Ujian tahun ini meninggalkan sebercak kenangan pahit dimana nilaiku di tahun ini menurun  jika dibandingkan dengan nilai ujianku tahun lalu ketika aku berhasil naik ke kelas 2. Hal ini mungkin karena aku banyak memikirkan hal yang mungkin sebenarnya tak mesti terlalu aku pikirkan dan di tahun ini juga, ada beberapa teman bahkan sahabatku yang tidak naik kelas. Bisa aku bayangkan betapa sedih dan malunya mereka ketika melihat anak-anak lain yang melompat kegirangan karena melihat hasil rapornya yang bertuliskan “NAIK KELAS” sedangkan mereka hanya bisa duduk diam dan menangis meratapi hasil yang sangat tidak diinginkan oleh semua anak sekolah di dunia ini.
            Dari luar rumah terdengar suara Aldo memanggil
 ”Dika!!! Dika!!! Dika!!!” Aldo berteriak hebat memanggilku, mungkin suaranya terdengar sampai ke tetangga di gang sebelah.
Aldo adalah salah satu sahabatku. Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Ya… mungkin karena aku sudah bersamanya sedari kecil dan karena kami berdua tetangga.
  ”Iya Do, masuk aja! Ga’ dikunci kok!” Teriakku.
Seperti biasa Aldo langsung masuk ke kamarku dan mendapatiku sedang melamun dengan wajah yang bisa dibilang agak sedikit lesu.
”Kenapa lho, men? Sakit atau lho belum makan? Makan tuh piring, he he!” Ujar Aldo dengan candaannya.
“Enak aja lu nyuruh gue makan piring, emang gue apaan? Sekarang  gue lagi mikirin tentang liburan, tahun ini enaknya kemana ya?” Tanyaku sembari melirik Aldo yang seperti biasa langsung sibuk mengutak-atik PS yang ada di dalam kamarku.
“Woi, gue  nanya lho nih! Liburan tahun ini enaknya kemana ya Do yah?!” Tanyaku kembali dengan nada yang lebih keras.
“Ia juga yah, kita kan lagi libur, emn,,,, entar gue pikirin dulu asyiknya kemana ya,... … Emn gimana kalo kita ke…..Pantai??????” Usul Aldo sambil melirik kepadaku dengan sebuah senyuman misterius yang selalu ia lontarkan kepadaku kalau ia sudah punya suatu rencana hebat.
Aku langsung bangkit dari tempat tidurku ketika mendengar ia menyebut kata pantai. Sebenarnya aku adalah orang yang jarang pergi ke pantai, terakhir aku ke pantai sekitar 4 tahun lalu, waktu itu aku masih SD dan aku ke sana, ke sebuah pantai yang indah bersama seluruh anggota keluargaku.
“Kayak-kayaknya itu ide yang cukup bagus men, tapi…” Aldo langsung memotong pembicaraan yang belum selesai kuucapkan.
“Tapi apa Dik?” Tanya Aldo dengan raut wajah penasarannya.
“Tapi kita ke sana sama siapa? Naik apa? Dan kapan?” Pertanyaanku membuat Aldo terdiam sejenak sambil mengelus dagunya layaknya orang yang memiliki janggut.
“Gini, kita ke sana berdua naik motor dan waktunya………???? Gimana klo besok aja, berangkatnya besok kan hari minggu. Gimana menurut lho Dik?” Aldo bertanya kepadaku seolah-olah akulah penentu terlaksananya kegiatan ini.
“Oke juga rencana lho, klo gitu sekarang mendingan lho pulang and nyiapin segala keperluan buat besok.” Ujarku memutuskan. Tetapi aldo belum mau pulang, ia masih mau melanjutkan permainan PSnya.
“Ntar aja deh gue pulangnya, lagiankan masih sore. Gue masih mo ngelanjutin  main PS dulu nih, bolehkan?”
“Boleh-boleh aja sih tapi seperti biasa, jangan sampe lupa waktu!”
“Kalo itu mah dari dulu juga gue udah tau.”
Sembari Aldo melanjutkan main PSnya, aku mengambil gitar dan bermain gitar di beranda rumahku. Yah walaupun sebenarnya aku masih amatiran dalam hal bermain gitar kalau mau dibandingkan dengan teman-temanku yang lain.
            Tak terasa matahari sudah hampir meninggalkan langit dan terbenam di ufuk barat. Tak terasa pula aku sudah memainkan cukup banyak lagu dan ketika aku  menyudahi bermain gitar, Aldo juga menyelesaikan bermain PSnya, hal itu memakan waktu sekitar 1 jam.
“Eh Dik, gue udah mau pulang nih makasih ya buat PSnya!” Aldo berkata sambil menepuk pundakku.
“Sama-sama, Do. Sekarang lho pulang dan persiapin diri lho buat perjalanan kita besok!” Ujarku mengingatkannya.
“Oke deh pren’k, gue pulang dulu!” Aldo beranjak dari rumahku dan akupun masuk ke dalam rumah.
T T T
Keesokan harinya Aldo datang ke rumahku dengan berpakaian ala pantai, lengkap dengan kaca mata hitamnya. Pada saat itu kami berdua sudah siap dengan membawa pakaian dan makanan secukupnya untuk bekal kami di pantai nanti.
“Wah, wah, wah, lho keren banget hari ini, Do!” Pujiku pada Aldo. Aldo tampak keren dengan jeans hitam yang ia pakai dan juga di tambah dengan kemeja yang berwarna biru terang, yang menampakkan suasana keceriaan.
“Ah biasa aja kok, Dik! Lho juga keren kok!” Ujarnya balas memujiku. Aku mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak berwarna hitam dan celana jeans yang juga berwarna hitam.
“Klo itu sih sudah pasti. Oke deh klo lho sudah siap, gimana klo kita berangkat sekarang?”
“Let’s go!”
Kami berdua akan pergi ke sebuah pantai, satu-satunya pantai yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal. Jaraknya sekitar 45 km. Pantai itu adalah pantai yang cukup terkenal dimana disana terdapat laut biru berpasir putih yang menjanjikan keindahan yang cukup bisa untuk sekedar menghilangkan strees. Pantai ini juga sudah sering dikunjungi turis domestik yang berasal dari luar daerah kami, bahkan turis asing pun sering datang ke pantai ini.
            Setelah kurang lebih satu jam kami berada di atas motor di bawah teriknya  matahari pagi yang menyilaukan mata, akhirnya sampailah kami di pantai yang kami tuju. Seperti yang sudah kami duga sebelumnya, terdapat cukup banyak pengunjung di pantai ini. Kami pun segera mencari tempat untuk beristirahat dan mempersiapkan segala keperluan. Dari kejauhan kami melihat sebuah tempat kosong yang berada di ujung sebelah kiri pantai berupa rumah berpayung kecil yang cukup untuk kami berdua. Tempatnya agak jauh dari tempat keramaian.
“Ahhh, akhirnya nyampe juga,” desah Aldo.
“Pantai ini benar-benar indah ya, gue ngerasa sudah lama banget ga’ ngerasain suasana pantai yang seperti ini.” Kataku kepada Aldo yang langsung sibuk mengeluarkan isi di dalam tasnya.
Setelah mengeluarkan seluruh isi tasnya, Aldo langsung membuka pakaiannya dan bersiap untuk terjun ke laut.
“Dik, lho ga’ mandi? Buruan gih kita nyebur sama-sama, ini bakalan asyik banget, huuuuu!” Ajak Aldo padaku yang sedang memandang indahnya lautan biru dihiasi kilauan pasir putih yang sudah lama tak kulihat, tak seperti Aldo yang hampir ditiap liburan pergi berlibur bersama keluarganya. Tidak seperti orang tuaku yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing tanpa ada waktu untuk berkumpul bersama seluruh keluarga.
“Apa Do? Lho ngomong apa? Sori gue ga’ denger!” Aku terbuai dengan keindahannya sampai tidak mendengar apa yang dikatakan Aldo.
“Gue bilang,,,,,,, gue mo mandi duluan ya, terserah lho mo mandi apa kaga!” Aldo bergegas turun ke laut.
Sembari menatap lautan, aku melihat sosok seorang gadis remaja yang sepertinya tak  asing kulihat. Lalu kuberanjak dari tempatku, ku beranikan diri menyapanya
“Permisi, lagi sendirian ya?” Tanyaku pada gadis itu. Dia langsung menoleh melihatku dan ternyata aku memang mengenal gadis itu. Dia adalah anak kelas sebelah yang selama ini selalu kuperhatikan, dan aku tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Rasa cinta ini timbul sejak aku di kelas 1, tapi rasa ketertarikan sudah ada sejak kami mengikuti MOS di sekolah. Aku sebenarnya agak sedikit heran pada diriku sendiri, mengapa aku bisa merasakan cinta pada orang yang bahkan tak ku kenal namanya, tinggalnya dimana, bagaimana asal usulnya, dan segala hal yang biasanya diketahui seseorang sebelum orang tersebut jatuh cinta. Tapi untukku, aku tidak perlu mengetahui semua itu untuk bisa jatuh cinta. Cukup dengan melihatnya, aku tahu dan aku yakin bahwa ia adalah wanita yang patut untuk ku cintai
“Hei, kamu Arin kan? Anak kelas IA 1? Aku Dika anak kelas sebelah. Lho pasti pernah liat gue, kelas kita kan bersebelahan. Salam kenal” Ujarku sambil mengulurkan tangan kananku, berharap mendapat balasan darinya.
“Iya gue Arin, salam kenal!” Jawabnya. Arin kemudian menjabat tanganku dengan sebuah senyuman yang sangaaaat manis. Kurasakan kelembutan tangannya membuatku sedikit agak merinding, maklum aku adalah tipe orang yang agak sedikit pemalu. Tapi untuk cewek yang satu ini, aku berusaha membuang semua rasa malu yang ada dalam diriku.
“Boleh gue duduk disini?” Tanyaku dengan ragu-ragu.
“Boleh aja kok, tempat ini kan bukan milik gue.” Jawabnya. “Sesuai dengan yang aku harapkan,” ucapku dalam hati.
Kami berdua duduk bersampingan di pinggir pantai yang tenang beralaskan pasir putih, beratapkan langit biru, dan ditambah dengan angin sejuk yang benar-benar menyejukkan jiwa. Sungguh sangat senang hatiku bisa duduk mengobrol berdua bersama wanita yang selama ini memang kudambakan. Sungguh tak terduga pertemuanku dengannya, itu merupakan hal yang sangat indah bagiku.
“Lho ke sini ama siapa, Rin?” Aku mencoba untuk memulai pembicaraan.
“Aku ke sini bersama semua anggota keluargaku, klo kamu sendiri?”
“Gue ke sini berdua ama temen. Namanya Aldo, tuh lagi asyik berenang!” Ujarku sembari menunjuk Aldo yang sedang asyik berenang sambil menggoda cewek-cewek yang ada di pantai.
“Kamu sendiri kenapa gak ikutan berenang?” Dia bertanya sambil menoleh ke arahku
“Gue gak mandi karena gue lagi nikmatin indahnya pemandang di pantai ini. Sungguh pantai yang indah, bukan?”
“Aku juga, aku sedang menikmati indahnya pantai ini, sambil merenungi nasib.” Ia langsung tertunduk ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Emang ada apa dengan nasib lho?” Dia terdiam dan membisu tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Aku menatapnya dalam-dalam, kulihat setetes air mata jatuh di pipinya, belum sempat kutanyakan kenapa, orang tuanya tiba-tiba memanggil.
“Arin!!! Arin, sini nak!” Arin langsung mengusap air mata yang sudah terlanjur membasahi kulit putih bersihnya. Ia kemudian berdiri dan hendak pergi.
“Dik, makasih kamu sudah mau menemaniku ngobrol walau hanya sesaat. Aku balik dulu ya, aku dipanggil sama orang tuaku, dah!”
Aku hanya diam membisu, tak tau apa yang harus kukatakan sebelum ia pergi bahkan aku tak membalas salam darinya. Yang ada di dalam pikiranku hanya sebuah bayangan tangis seorang wanita yang ku tak tau apa sebabnya dan walaupun ia mencoba menyembunyikan kesedihannya, tapi ku tahu ada sesuatu yang sangat sedih sedang menimpanya.
Beberapa saat kemudian, kurang lebih satu jam setelah itu, aku mengajak Aldo yang telah selesai mandi untuk pulang. Selama satu jam aku hanya memikirkan kejadian tadi, mengapa air mata itu keluar? Mengapa aku harus melihat air mata itu? Dan mengapa itu menjadikan beban pikiran buatku? Sungguh aku dibuat penasaran, wajah itu, tangis itu, sungguh membuatku kehilangan konsentrasi.
“Kenapa lho, Dik? Kayak orang yang gak makan seharian! Kenapa? Dompet lho dicuri? Atau lho abis di cium ama ema’-ema’? Yah, klo lho lesu gini gak seru kan!” Aldo menepuk pundakku, dan aku hanya diam dan tak bergeming.
“Kita pulang aja, Do!” Ajakku dengan suara datar.
“Apaa???” Aldo agak sedikit terkejut ketika aku mengajaknya pulang karena mungkin kami baru satu jam di sana.
“Kita pulang sekarang!” Aku berkata dengan nada yang tegas.
Setelah aku berkata demikian, Aldo langsung menurut dan kamipun pulang. Aldo tak berkata apapun sepanjang jalan, mungkin karena ia tau aku sedang ada masalah, dan ia tau jika aku mempunyai masalah aku tidak suka terlalu banyak diintrogasi.
T T T
Beberapa hari ini aku terus memikirkan Arin. Memikirkan raut wajahnya, suara tangisnya, dan kemisteriusan kata-katanya. Aku tak tau apa yang mesti aku lakukan. Haruskah aku terus berdiam diri seperti ini? Atau aku harus bergerak mencari tau apa maksud semuanya? Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita kepada Aldo. Setelah mendengar semua ceritaku, tiba-tiba dia menarik tanganku.
“Kita mau ke mana, Do?” Tanyaku dengan terkejut karena tiba-tiba saja dia menarik tanganku.
“Cari alamat Arin,” jawabnya dengan nada yang tegas.
“Untuk apa?” Tanyaku kembali dengan pikiran masih penuh tanda tanya.
“Ya untuk mengetahui apa maksud semuanya,” jawabnya lagi. Kini tanpa mendengar persetujuanku terlebih dahulu, dia langsung naik ke motornya.
            Setelah kami pergi ke rumah sahabat Arin yang juga merupakan teman Aldo, akhirnya kami menemukan alamat gadis itu. Tidak sulit untuk mencari rumah Arin sebab rumahnya merupakan satu-satunya rumah yang halamannya paling rimbun, dipenuhi beberapa pohon buah-buahan.
            Rumah itu tampak sunyi. Seorang perempuan setengah baya menyambut kedatangan kami dengan wajah muram. Sepertinya perempuan itu adalah ibunda Arin.
“Cari siapa, nak?” Tanya ibunda Arin.
“Benar di sini rumah Arin?” Tanya Aldo. Ibunda Arin mengangguk menjawab pertanyaan Aldo.
“Arinnya ada, Tante?” Tanyaku dengan tidak sabar.
“Lebih baik kalian masuk dulu,” ajak ibunda Arin sembari mempersilahkan kami masuk. Ibunda Arin membimbing kami memasuki rumah yang sunyi itu. Foto Arin berukuran 10 R tergantung di dinding, tersenyum ke arah kami. Aku merasakan ada yang aneh dengan suasana di rumah ini, namun aku cepat-cepat menepisnya.
“Sepertinya kalian tidak mengetahui kabar tentang Arin 2 hari lalu. Kalian terlambat, nak. Arin sudah pergi selamanya.”kata-kata itu keluar disertai Air mata yang mengucur dari kelopak mata ibunda Arin.
“Maksud Tante? Tanyaku dengan nada bergetar. “Oh, Tuhan, semoga apa yang aku dengar hanyalah pikiranku belaka,” ujarku dalam hati.
“Dua hari yang lalu Arin meninggal. Dia memang mengidap penyakit kanker darah stadium 4, tapi tante tak menyangka kalau dia akan pergi secepat ini. Beberapa hari yang lalu kami sempat pergi berlibur bersama, tapi ternyata itu merupakan liburan terakhir bagi Arin. Sehari setelah liburan itu, Arin tiba-tiba menjerit kesakitan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit. Namun ternyata semuanya terlambat, Arin tidak dapat tertolong. Dia terdiam tanpa bernapas lagi,” ujar ibunda Arin menjelaskan panjang lebar dengan air mata yang semakin deras mengalir.
Mendengar semua yang telah diceritakan ibunda Arin membuat leherku serasa tercekik, jantungku berdegup kencang, dan mataku memancarkan sorot ketidakpercayaan yang mendalam. Hal ini membuyarkan semua impian yang telah kuukir, impian untuk bisa memilikinya, sungguh kenyataan yang teramat sangat pahit. Mengapa aku terlambat mengetahui semua ini? Mengapa aku tak bertanya lebih awal? sebelum dia pulang meninggalkan pantai itu, sebelum dua hari yang lalu, sebelum ajal menjemputnya, sebelum dia pergi ke nirwana, sebelum dia meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Dan sekarang ku tak tau hal apakah yang bisa menghapus semua luka yang ada di hatiku saat ini……………….???? Adakah hal  yang bisa menghapus kenangan yang teramat manis tentang dia dan pantai itu?
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar